Merayakan Sastra dengan Keprihatinan

Padang, kinciakincia.com—Sastrawan Sumatera Barat akan menggelar perhelatan sastra di Kota Padang. Alek sastra yang digelar selama 3 hari ini diberi nama Padang Literary Biennale (PLB).

PLB adalah sebuah festival sastra dua tahunan yang diadakan secara swadaya dan mandiri, rencana akan digelar 19-21 September 2014  di beberapa ruang publik dan kampus di Kota Padang. Festival ini diadakan pertama kalinya di tahun 2012, dengan gagasan untuk menghadirkan sebuah festival bermatabat di Kota Padang, di balik kurangnya apresiasi pemerintah daerah terhadap agenda kesusastraan.

“PLP kedua ini beda format iven dengan yang pertama. Kini penyelenggara berupaya menghadirkan beberapa orang pengarang, novelis, cerpenis, penyair, serta aktivis kesenian untuk berbagi di depan khalayak ramai di Kota Padang yang digelar di beberapa ruang publik,” kata Lolly Ellysha Fauzy, Direktur Program PLB 2014 kepada www.kinciakincia.com, Jumat (5/9/2014).

Menurut Lolly Ellysha Fauzy, PLB kali para undangan akan berbagi dalam panel-panel kuliah umum, talkshow, diskusi, serta pembacaan karya. PLP kali ini bertema “Kurenah Kato: Kato Puisi Kato Manyimpan, Kato Curito Kato Mangabaan” PLB menghadirkan beragam peristiwa kesusastraan dan seni.
“Beberapa tempat strategis yang merupakan ruang publikpun dipilih untuk perencanaan pelaksaan agenda Padang Literary Biennale. Tempat tersebut adalah Pondok, Fakultas Ilmu Budaya Unand, Rumah Kopi Nunos, dan Ladang Nan Jombang,” kata Lolly.

PLB mengundang Ayu Utami (pengarang, Kurator Sastra dan Direktur Bienal Sastra Salihara), Okky Madasari (novelis, Jakarta), Nirwan Dewanto (Penyair, Redaktur Sastra Koran Tempo, Kurator serta Direktur Bienal Salihara), M. Aan Mansyur (Penyair, Makassar), Hary B Koriun (sastrawan, Pekanbaru), Kiky Sulistyo (Penyair, Mataram), Ni Made Purnamasari (Penyair, Denpasar), Erik Prasetya (Fotografer, Pendiri Klik Fotografi), Ollin Monteiro (Pelaku dan Pekerja Seni), Neni Muhdin (Penyair, Palu).

Para penulis dan pekerja seni dari berbagai daerah di Indonesia tersebut akan bergabung dengan beberapa penulis dari Sumatera Barat, mereka adalah Maya Lestari Gf (Novelis), Azwar Sutan Malaka (Novelis), Fariq Alfaruqi (Penyair), Rio SY (Penyair), Ramoun Apta (penyair), Karta Kusumah (Penyair), Mahatma Muhamad (Penyair, Pekerja Teater).

“Karena keterbatasam dana, maka kita menghubungi peserta, meminta lembaga, komunitas, atau pemerintahan di daerah mereka untuk membiayai dan memfasilitasi kedatangan mereka ke Padang merupakan jalan yang harus ditempuh panitia,” tambah Lolly.

Berangkat dari Keprihatinan

Gairah penyelenggaraan PLB pertama ditandai dengan permunculan karya-karya sastra dari sastrawan asal Sumatera Barat di halaman sastra koran daerah dan nasional, hadirnya buku-buku sastra, serta diundangnya mereka dalam agenda sastra di luar daerah.

Selain itu Padang Literary Biennale ingin menghadirkan sebuah festival dengan standar sendiri. Dalam artian, festival ini direncanakan berlangsung dengan tema-tema berdasarkan penggalian terhadap keunikan khazanah kebudayaan Minangkabau.

Atas gagasan beberapa orang sastrawan muda asal Sumatera Barat yang berdomisili di kota Padang, dan umumnya mereka adalah mahasiswa, Padang Literary Biennale digagas untuk pertama kalinya di tahun 2012.

“Para penggagas tersebut di antaranya Esha Tegar Putra, Heru Joni Putra, Fariq Alfaruqi, Pinto Anugrah, dan beberapa perwakilan komunitas seni di Padang. Dengan semangat menghadirkan sebuah festival bermartabat, meski dalam kekurangan materi, akhirnya festival pertama tersebut berhasil dilaksanakan dengan mengundang belasan orang sastrawan muda asal Sumatera Barat untuk membacakan karyanya di depan masyarakat umum,” kata  s.Esha Tegar Putra  yang diamini Pinto Anugerah dan Heru Joni Putra, yang ketiganya merupakan penggaga

Esha pun berkisah. Awalnya tempat pelaksanaan Padang Literary Biennale pertama juga sangan sederhana, di halaman rumah kontrakan yang dinamakan Kandangpadati, pada tanggal 28 April 2012.

“Tidak hanya para sastrawan muda saja membacakan karya, beberapa komunitas seni di kota Padang diundang untuk menghadirkan dramatisasi puisi, musik tradisi dan musikalisasi puisi. Komunitas-komunitas yang ikut membantu pelaksanaan Padang Literary Biennale pertama tersebut di antaranya Ranah Teater, Nan Tumpah, Bengkel Seni Tradisi Minangkabau, dan Teater Imam Bonjol,” terang sastrawan yang baru saja mendapat momongan ini. Untuk PLB pertama, ia jadi ketuanya.

Menurut abak dari Dendang Jarek Samato ini, dalam pelaksanaannya, Padang Literary Biennale pertama dibantu pembiayaannya dari sumbangan alakadarnya dari orang-orang yang peduli terhadap apresiasi sastra.
Sementara kitu, Heru Joni Putra menjelaskan, dalam perjalanan pelaksanaan Padang Literary Biennale memang memiliki banyak persoalan, terlebih dalam pendanaan. Di daerah yang bahkan belum bisa menghargai upaya-upaya kreatif anak muda untuk mengadakan sebuah festival sastra.

“Hal ini memang menjadi batu sandungan dan persoalan bersama. Mengundang dan memfasilitasi penulis-penulis kenamaan dari luar daerah, pembiayaan tempat, dan berbagai hal untuk pelaksaan agenda tersebut akan memakan biaya yang besar. Tapi dengan semangat membangun sebuah jaringan yang besar untuk mewujudkan sebuah festival swadanya adalah tantangan tersendiri,” terang Heru Joni Putra yang mengangumi pandangan tokoh-tokoh Marxisme dan ideologi sosialis ini. (wk/kc) 

Title : Merayakan Sastra dengan Keprihatinan
Description : Padang, kinciakincia.com—Sastrawan Sumatera Barat akan menggelar perhelatan sastra di Kota Padang. Alek sastra yang digelar selama 3 har...

0 Response to " Merayakan Sastra dengan Keprihatinan "

Padang Literary Biennale 2014
Padang Literary Biennale 2012

Instagram